Saat Menatap Matanya Dalam-Dalam
Ia datang padaku dengan wajah nyengir. Dia benar-benar ‘dekat’ padaku. Ya, selalu ingin dekat denganku. Dekat sekali... Dekat karena sering berbohong. Hiks.. Berbohong dan lagi-lagi berbohong. Apa yang diucap di sekolah tak sama dengan yang diucap di rumah. Sedih rasanya melihat anak didikku yang satu ini. Tapi apa daya, tak ada tauladan yang dapat ia contoh di rumah. Bahkan orangtuanya sekalipun tak dapat ajarkan arti jujur padanya. Lantas salahkah ia kalau berkata tak jujur untuk sekian kalinya? Aku hela nafas panjang.
Teringat kembali sosok ibunya. Sosok ayahnya... Apa status sekolah ini bagi mereka? Anak diserahkan begitu saja kepada para guru. Tapi oranguta jarang datang dan berkomunikasi. Orangtuanya bilang karena sesuatu tapi anaknya jujur berkata tentang ‘sesuatu’. Yang mana yang benar? Oh Allah...
***
“ORANGTUA BISA MEMILIHKAN SEKOLAH BUAT ANAKNYA, TETAPI GURU DI SEKOLAH TAK BISA PILIHKAN PADA RAHIM SIAPA SEBUAH JANIN-yang jakan jadi calon muridnya-IA TITIPKAN.”
Ya, orangtua memiliki kebebasan pribadi, hak privasi untuk memilihkan sekolah anaknya. Tapi para guru tak bisa pilihkan siapa orangtua anak didiknya. Guru hanya bisa merawat dan mengasah pribadi dan pikiran murid yang telah duduk di kelasnya. Karena jika seorang guru dapat sefleksibel orangtua, maka mungkin para guru akan turutkan egonya untuk memilih orangtua-orangtua yang bijaksana. Orangtua yang bijaksana jelas memiliki bibit unggul dalam diri putra putrinya.Tapi bukan itu yang dialami para guru. Guru-guru itu harus bekerja ekstra tak hanya membuat anaknya berbakat, tapi juga orangtuanya melek pendidikan. Pendidikan yang tak hanya sekedar nilai dan buku belajar, tapi juga akhlak dan kepribadian.
Orangtua, sungguh.. Aku akan berusaha membuat anakmu jatuh bangun untuk mengukir peradaban. Tapi kumohon juga, didiklah anakmu selama di rumah. Kenapa tanggungjawabmu lebih besar daripada kami? Bukan hanya karena sejak janin anak itu tumbuh dalam berkembang dalam rahimmu sebagai rumah pertamanya, tapi juga karena pilihan ada di tanganmu. Akan jadi siapa dia dan bagaimana sifatnya kaulah yang tentukan dari caramu mendidiknya.
Wahai ayah bunda, sesungguhnya engkau lebih fleksibel daripada kami. Engkau tak butuh RPP, tak butuh ruang kelas, tak butuh sarjana kependidikan. Yang engkau butuhkan hanyalah nilai-nilai kebaikan untuk ditularkan pada anakmu. Kejujuran, semangat berkorban, perjuangan raih mimpi dan kecintaan pada Ilahi. Demi janin itu yang telah kau rindu sejak lama, demi anakmu yang telah kau korbankan banyak hal untuknya, demi waktu-waktu yang akan hilang. Demi masa..sebelum ia pergi dari sisimu. Pergi menjalani takdirnya di atas hamparan bumi Ilahi. Sesungguhnya kebersamaan itu amatlah singkat.
***
Ia masih berdiri di hadapanku. Terdiam tapi masih setengah nyengir. Rasa kesal pada ayah bundanya membuatku ingin lampiaskan juga pada lelaki kecil di hadapanku ini. Tapi saat kutatap dalam-dalam matanya, aku terhanyut. Secercah kecil sinar kepolosan masih ada di bola matanya. Ah Allah... Bukan salah ia terlahir dari ayah bundanya. Sungguh, ia tak bisa memilih ada di rahim siapa. Aku terenyuh, aku luluh.. Untuk kesekian kalinya marah ini terbang menuju sungai-sungai di surga. Redam dalam maaf dan ketenangan bola mata itu. Aku akhirnya hanya bisa terdiam. Seutas harapan kusandarkan pada jalan hidupnya. Harapan dalam doa dan keajaiban. Semoga kebaikan selalu hampiri hidupmu duhai anakku...
0 komentar